Senin, 19 April 2010

PERANAN DAN POSISI ILMU SEJARAH DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN* Oleh: Indriyanto (Fakultas Sastra UNDIP)

Pendahuluan
Dunia menjelang abad XXI ini telah menghadapi arus informasi dan globalisasi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat. Kondisi ini akan semakin mapan dan terasa pada abad XXI, karena
sebagian besar belahan bumi ini telah terbuka terhadap arus informasi dan teknologi yang telah bisa dibendung lagi.
Hal ini sudah barang tentu akan menimbulkan dampak yang sangat luas di dalam kehidupan manusia.
Alfin Toffler mengatakan, dunia telah diterpa oleh dua gelombang peradaban, yaitu agrikultural dan industri.
Sekarang, dunia berhadapan dengan peradaban dunia ketiga, yaitu peradaban pasca industri. Situasi ini digambarkan
jelas oleh Toffler dalam bukunya Future Shock . Berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dikatakan:
Sebelum tahun 1500, Eropa memproduksi buku dengan kecepatan 1000 judul setahun. Ini berarti bahwa
menurut perhitungan kasar, diperlukan satu abad penuh untuk melengkapi suatu perpustakaan yang berisi
100.000 judul. Menjelang tahun 1950, empat setengah abad kemudian, kecepatan ini telah berakselarasi
begitu tajam sehingga Eropa dapat memproduksi 120.000 judul dalam setahun. Apa yang sebelumnya
memerlukan waktu satu abad, kini hanya memerlukan 10 bulan…Dan, menjelang tahun 1960-an, produksi
buku pada skala dunia, termasuk Eropa, mendekati menakjubkan yaitu 1000 judul dalam sehari (Toffler,
1989: 36).
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan kecepatan tinggi ini semakin mendorong terjadinya
modernisasi di segala bidang secara berkelanjutan. Perkembangan baru ini memaksa setiap orang, kelompok,
lembaga, para pengambil keputusan, baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional meninjau ulang setiap
putusan ataupun kebijakan yang diambilnya. Selanjutnya diperlukan kebijakan yang tepat, akurat, efisien, efektif yang
harus dilakukan secara cepat. Sementara itu, pengambilan keputusan dan kebijakan menjadi semakin pelik serta sulit
dilakukan karena permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang muncul semakin
beragam, bersifat simultan, kompleks dan tumpang tindih, mendesak untuk diselesaikan secara memuaskan banyak
pihak (Alfian,29-11-1994).
Situasi dan kondisi serba cepat ini menyebabkan pula segala kebijakan maupun perkembangan budaya
manusia mempunyai sifat cepat usang dan sementara, tempo kehidupan semakin cepat dengan keanekaragaman gaya
hidup. Tak terasa, seolah-olah dimensi masa lalu pun bila dilihat dari masa kini, sepertinya berjalan begitu cepat
pula.. Dengan demikian kehidupan masa lalu pun menjadi urgen untuk dipikirkan kembali. Di samping itu
perkembangan situasi dan kondisi yang serba “krisis” ini juga menghendaki perenungan kembali bagi kalangan
ilmuwan umumnya tentang peran yang harus dimainkan dan sikap yang harus ditunjukkan dalam menghadapi
tantanan zaman, khususnya di abad XXI nanti. Tak kecuali dengan sejarawan (sejarawan profesional / akademisi)
perlu segera melihat kembali peran yang telah dimainkan selama ini dengan mencari alternatif-alternatif baru,
termasuk di dalamnya alternatif dalam penulisan sejarah.
Perkembangan Ilmu Sejarah
Tradisi penulisan sejarah baik di tingkat dunia maupun di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup
menggembirakan. Tradisi penulisan sejarah Yunani-Romawi, telah mampu memberikan dampak bagi kehidupan
bangsa Yunani-Romawi. Karya-karya besar sejarawan klasik ternyata dapat memberikan inspirasi dan mempengaruhi
pembentukan watak dan karakter dari bangsa itu sebagai bangsa yang mampu berjaya dalam perkembangan sejarah
(Indriyanto, 29 Desember 1989).
Perkembangan penulisan sejarah semakin beragam dengan konsep-konsep dan pendapat-pendapat baru. Hal
ini dapat dibuktikan dari karya-karya besar sejarawan dunia (Gay, 1972; Barnes, 1962; Lichtman dan Franch, 1978).
Perkembangan studi sejarah semakin tampak bergairah ketika Leopold von Ranke bereaksi terhadap aliran
romantisme dalam penulisan sejarah dan selanjutnya memperkenalkan studi sejarah kritis yang hendak berpijak kuat
pada empiri, maskipun tetap bersifat ideografis.
Ucapan Ranke yang terkenal ialah “Wie as eigentlich gewesen ist” (bagaimana sesungguhnya sesuatu
terjadi) mempunyai pengaruh kuat bagi perkembangan studi sejarah kritis beserta metode historis dari muridmuridnya
antara lain Bernheim dan Bauer. Karya-karyanya tentang metode sejarah juga mendapat pengaruh kuat dari
penggunaan diplomatik yang dirintis oleh Mabillon. Sekolah von Ranke kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia
dan berhasil mengangkat sejarah sebagai ilmu sejarah. Sebuah cabang sekolah itu akhirnya menimbulkan aliran yang
dominan di Barat sampai Perang Dunia Kedua, ialah apa yang dikenal sebagai historisme (Kartodirdjo, 11-12
September 1995).
Tradisi penulisan sejarah di Indonesia pun mengalami perkembangan sesuai dengan jiwa jamannya. Paling
tidak, perkembangan historiografi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga bagian (Kartodirdjo, 1982), yaitu
historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. Kemudian pada masa sekarang ini juga
berkembang berbagai visi baru dalam penulisan sejarah khususnya menyangkut masalah pendekatan dan metodologi.
Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan sejarah yang banyak ditulis oleh
para pujangga kraton, karya-karya mereka bertujuan untuk melegitimasi kedudukan raja. Dengan demikian,
historiografi pada masa ini mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat sakral, menekankan kultus, dewa raja dan
mitologi, bersifat anakronisme, etnosentrisme, dan berfungsi sosial psikologis untuk memberi kohesi pada suatu
masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti.
Selanjutnya, pada fase kedua berupa historiografi kolonial yang sudah mendasarkan pada tradisi studi
sejarah kritis. Namun demikian, perspektif yang menonjol masih menunjukkan Neerlandosentrisme sebagai
penyempitan wawasan Eropasentris. Asal mulanya karya sejarawan Belanda terutama mengisahkan perjalanan
pelayar-pelayar Belanda serta kemudian perkembangan VOC dilanjutkan dengan pemerintah kolonial beserta
penguasa-penguasanya. pendeknya di sini kita menjumpai penulisan sejarah berdasarkan tradisi historiografi
konvensional yang lebih berupa riwayat orang-orang berkuasa, antara lain Gubernur Jendral, raja-raja, panglima, dan
sebagainya. Sebuah model sejenis historiografi ini adalah karya W.F. Stapel, Geschiedenis van Nerlands-Indie
(Kartodirdjo, 11-12 September 1995).
Historiografi modern, merupakan suatu periode perkembangan baru dalam historiografi Indonesia. Diawali
dengan munculnya karya Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten, kemudian karyakarya
sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh karya ini, yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan
ilmu lain untuk melengkapi atau menulis suatu karya sejarah. Selanjutnya muncul corak penulisan sejarah yang
nasionalistis, yang oleh Sartono Kartodirdjo dikatakan bahwa secara umum karya-karya penulisan sejarah periode ini
(post revolusi) merupakan ekspresi dari semangat nasionalistis yang berkobar-kobar dalam menentang bangsa asing.
Setelah tahun 1957, maka mulailah terdapat landasan yang jelas tentang corak penulisan sejarah Indonesia yang
modern dengan suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial, bersifat Indonesia sentris, dan secara inherent mencakup segala
dimensi kehidupan bangsa Indonesia secara komprehensif dengan pandangan dari dalam (the history from within).
Multidimensional approach, yang dipopulerkan oleh Sartono Kartodirdjo dalam pengerjaan penulisan sejarah semakin
digeluti oleh para sejarawan dewasa ini. Namun demikian, visi-visi baru pasca-multidimensional approach juga
bermunculan. Sebagaimana dicontohkan oleh Taufik Abdullah, bahwa pada kenyataannya beberapa disertasi masih
mengandung “perdebatan terselubung”. Djoko Suryo mencoba memperkenalkan quanto-history, Ibrahim Alfian,
melakukan pendekatan dari dalam yang bertolak dari cluster of event. Kedua studi ini merupakan contoh yang
ekstrem karena memperdebatkan asumsi teoritis yang berbeda. Meskipun demikian, fenomenon ini bukanlah
merupakan hal yang merisaukan, tetapi justru menggembirakan karena perkembangan penulisan sejarah memang
harus mengalami kemajuan dan para sejarawan harus berani menerapkan berbagai view dalam analisis historis
(Indriyanto, 1994: 29)
Pertentangan antara riset kualitatif versus kuantitatif pun masih berkembang hingga sekarang ini. Bukanlah
salah satu kebutuhan urgen saat ini adalah terdapatnya visi baru pada sejarah modern, seperti yang dikemukakan oleh
Alfred Weber? Dengan demikian, apabila produk sejarawan dengan kemajemukan konsep dan “perdebatan” konsep
ilmiah masih dalam kerangka akademis itu wajar terjadi, bahkan harus, karena sesuai dengan “kodrat” perkembangan
ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman itu sendiri. Yang jelas, mereka telah berjasa dengan sumbangan
pemikiran konsep dalam perkembangan penulisan sejarah.
Nonsense jika kemajuan dalam penulisan sejarah hanya didasarkan pada satu view of approach saja
(Indriyanto, 1994: 30)
Lalu, bagaimana dengan perkembangan ilmu sejarah dalam era globalisasi dan informasi khususnya pada
abad XXI mendatang? Sebagaimana dengan “kodrat” sebuah ilmu, maka perkembangan menuju hal yang lebih benar,
rasional, objektif, dan berbagai perangkat ilmiah lain, merupakan hal yang wajar dan harus terjadi. Bukankah sejarah
adalah anak zaman dan setiap generasi menulis sejarahnya sendiri? Akan tetapi toh, persoalannya bukan hanya itu.
Sampai sejauh manakah ilmu sejarah mampu berperan dalam menghadapai tantangan zaman? Oleh karena zaman
begitu cepat berubah dan konsekuensinya banyak kebijakan yang juga senantiasa perlu diubah, maka peran ilmu
pengetahuan dalam proses pengambilan keputusan bagi kelangsungan hidup, juga mengalamai transformasi “perlu
diubah”. Tentunya, perlu diubah, di sini dimaksudkan bukan berarti hasil pemikiran para sejarawan pada masa lalu
tidak ada gunanya lagi, tetapi ilmu sejarah dituntut oleh zaman untuk bisa memainkan peran. Dengan demikian, ilmu
sejarah bukanlah menjadi ilmu yang tidak “berwibawa” dalam percaturan ilmu pengetahuan yang saling berlomba
menjadi bahan bakar dalam proses akselerasi kemajuan zaman. Dunia kontemporer pada saat itu menuntut setiap
disiplin menjadi alat, dan bukan tujuan. Semboyan ilmu demi ilmu dianggap usang karena menciptakan jarak antara
ilmuwan dengan realitas. Bagi ilmu sejarah, pencarian cara, prosedur, metodologi, dan penerapan kurikulum yang
cocok untuk mendukung keterkaitan dan kesepadanan sejarah dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman,
mutlak harus dilakukan. Ilmu sebagai ilmu atau ilmu yang terisolasi di “menara gading” dianggap sebagai
kemewahan dan “kontra-produktif”. Sebagaimana kata B. Croce, kekinian atau contemporary mendominasi seleksi
dan analisis. Terutama dari sudut pandang para present minded, disiplin sejarah semestinya mampu meningkatkan
pemahaman kita secara kuantitatif dan kualitatif tentang permasalahan sekitar, dan membantu mencari solusi demi
masa depan yang lebih ideal. Dengan demikian, sejarah tidak menjadi kering, menjemukan, dan tidak relevan dengan
masa kini, apalagi pada abad XXI. Jadi, sejarah dengan fungsi sosialnya haruslah juga memberi keterangan tentang
sebab-sebab terjadinya suatu pola perilaku tertentu (Ibrahim Alfian, 29-11-1994). Demikian halnya, peran ini mesti
berlaku dan berlangsung pada masa abad XXI, sudah barang tentu dengan perkembangan yang akan terjadi nanti.
Pada abad XXI, orang yang menguasai informasi adalah paling menentukan. Dengan orientasi ke depan,
ilmu pengetahuan menjadi “terbuka” untuk bisa dipelajari oleh setiap orang. Pendeknya, ilmu pengetahuan bukan
menjadi monopoli segelintir orang saja, sebagaimana masa lampau bahwa ilmu hanya dipelajari oleh orang di biarabiara
saja. Dalam revolusi informasi, maka setiap ilmu berlomba-lomba untuk bisa digunakan dan diterapkan. Dan,
konsekuensinya, hanya ilmu yang applicable sajalah yang bisa menjawab tantangan zaman. Trends seperti ini harus
pula dapat diraih oleh disiplin sejarah. Dengan demikian, perkembangan penulisan sejarah type developmentalis
menjadi sangat diperhatikan banyak pihak. Bahkan tidak hanya itu, sifat prediktif dari ilmu sejarah pun juga dituntut
oleh zaman untuk kepentingan orientasi ke masa depan. Oleh karena itu, tidak heran bila madzab nomothetis,
(selanjutnya lihat: Notosusanto, 1979: 7) dalam abad XXI nanti akan semakin berperan sangat menentukan, karena
tuntutan zaman.
Apabila kita setuju, kita asumsikan bahwa pada abad XXI mendatang, di samping arus globalisasi semakin
meluas, tetapi di sisi lain, kerinduan masyarakat terhadap budaya akan semakin tebal. Seperti dilakukan seorang
futuris, Samuel P. Huntington, bahwa pada masa depan, orang akan kembali mempelajari dan ingin mengetahui
budaya masa lampau, karena orang sudah mulai bosan dengan kemajuan teknologi yang serba cepat dan orang hanya
diatur oleh detak jam dalam kehidupannya. Apalagi asumsi ini benar, maka kedudukan ilmu sejarah menjadi semakin
penting pada masa itu. Sejarah yang merupakan memory masa lampau, yang menyangkut perjalanan budaya suatu
masyarakat akan menjadi cermin dan palingan orang pada abad XXI, meskipun pada masa lalu dan masa kini pun
juga demikian. Hal ini disebabkan, karena sejarah telah menjadi “pengawal” budaya suatu bangsa dan sejarawan juga
menjdai penyampai atau transmitter budaya. Maka tak perlu dirisaukan pula kegunaan dan fungsi ilmu sejarah, kalau
memang asumsi ini memang terjadi. Teachability dan impact sejarah baik sebagai educator dan inspirer akan tetap
mempunyai fungsi.
Sejarawan dan Peran Intelektualnya
Perkembangan ilmu sejarah tidak bisa dilepaskan dengan sejarawan itu sendiri sebagai subjek pengembang ilmu.
Oleh karena perkembangan zaman membawa dampak bagi perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya
ilmu sejarah, maka sejarawan pun mesti juga mengalami perkembangan dalam peran intelektualnya.
Akselerasi perkembangan yang menuntut peran ilmu secara lebih besar dan aplikatif dalam menjawab
tantangan zaman, menyebabkan sejarawan harus bereksperimen dengan berbagai ragam tindakan regulasi perubahan
tersebut. Sekaligus, sejarawan juga dituntut untuk menemukan dan menggantikan format peran sambil berjalan
menyesuaikan zaman. Suatu kenyataan bahwa orientasi ke masa depan merupakan suasana yang melingkupi masa
abad XXI, maka orientasi ini juga perlu dimiliki oleh seorang sejarawan. Menurut istilah C.P. Snow, dibutuhkan
sejarawan yang “dialiri masa depan” hingga ke tulang sumsumnya. Hal ini berkonsekuensi, sejarawan perlu merevisi
peran yang selama ini tidak berorientasi ke masa depan.
Desakan akselerasi di berbagai bidang, sesungguhnya memberikan “amanat terselubung” bagi sejarawan
untuk bisa meningkatkan kemampuan menanggulangi (cope ability) terhadap persoalan-persoalan yang muncul pada
abad XXI. Meskipun ada banyak aliran sejarawan dalam peran ini, tetapi bukanlah sesuatu yang haram, apabila
sejarawan mulai melakukan eksperimen-eksperimen historis dalam analisis metodologinya, sehingga mampu
memberikan solusi bagi penyelesaian masalah yang muncul. Kalau toh, itu bukan dinamakan social engineering,
maka katakanlah sebagai suatu jenis social engineering produk sejarawan, yang menurut Popper (1985), dapat berupa
perencanaan dan pembangunan lembaga-lembaga, yang bertujuan menahan, mengontrol atau mempercepat
munculnya perubahan-perubahan sosial tertentu.
Penutup
Adalah suatu kenyataan, bahwa hukum sejarah adalah hukum perkembangan, dan ilmu sejarah maupun sejarawan
mesti berada pada gelombang dan arus perubahan zaman itu. Berbagai alternatif pemikiran, merupakan suatu idea of
progress yang perlu disikapi untuk menghindari “kesalahan” masyarakat dalam memahami sejarah.
Lebih jauh, berbagai alternatif pemikiran ini, paling tidak bisa memberikan kesadaran bagi sejarawan agar
manusia modern pada abad XXI tidak terlepas dengan masa silamnya. Keterputusan masyarakat modern dengan masa
silamnya dan masa silam kemudian hanya menjadi urusan sejarawan melulu, sehingga tulisan dan karya mereka tidak
dibaca lagi oleh kaum awam terpelajar, merupakan suatu yang ironis. Apabila hal itu memang terjadi, maka suatu
bangsa akan menjadi rusak dan identik dengan orang “gila” yang tidak tahu lagi masa lalunya. Ini adalah suatu
renungan, tetapi sejarawan mesti akan melangkah ke sana. Dan, mari kita berdiskusi.
Kepustakaan
Barnes, Herry Elmer, 1962. A History of Historical Writing. New Tork: Dover Publication INC.
Gay, Peter & Gerald J. Cavanaugh, 1972. Historians at Work Vol. I & II. New York: Harper & Row.
Ibrahim Alfian, 1994. “Keterkaitan dan Kesepadanan Disiplin Sejarah”, makalah Forum Komunikasi Hasil Penelitian
Bidang Sastra dan Seni Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, tanggal 29-11-
1994.
Indriyanto, “Gagasan Metodologi Sejarah Masih Mencari Sosoknya”, dalam Prasasti No. 1/VI, Desember 1994.
Indriyanto, “Sejarah: ilmu atau Seni?”, dalam Wawasan, Rabu, 29 Desember 1989.
Lichtman, J. allan & Valerie Franch, 1978. Historians in The Living Past. Arlington Height: Harlan Davidson INC.
Nugroho Notosusanto, 1979. Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Popper, Karl R., 1985. Gagalnya Historisisme. Jakarta: LP3ES.
Sartono Kartodirdjo, “Perkembangan Penulisan Sejarah di Indonesia Selama Setengah Abad Teori dan Praktek”,
dalam makalah Seminar Nasional Setengah Abad Budaya Indonesia, Fak. Sastra UNDIP, 11-12 September
1995.
Sartono Kartodirdjo, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: suatu Alternatif. Jakarta:
Gramedia.
Toffler, Alfin, 1989, Kejutan Masa Depan (terjemahan Sri Kusdiyatinah). Jakarta: Pantja Simpati.
* Makalah disampaiakan pada acara Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, di Semarang, tanggal 30 Mei 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar